Pidana Mati di KUHP Baru: Yusril Jelaskan Prinsip Kehati-hatian

Hukum Pemerintah
Advertisements
Advertisements

BabelWow.com, Jakarta – Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pidana mati tetap menjadi bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru, namun penerapannya diatur secara sangat hati-hati. Hal ini disampaikan Yusril dalam keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 9 April 2025. Rabu (9/4/2025)

“Pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapuskan, melainkan ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati. Jaksa juga diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim,” ujar Yusril.

Lebih lanjut, Yusril menjelaskan bahwa pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera menyusun Undang-Undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru. Meskipun demikian, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus sudah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional.

Grasi dan Masa Percobaan

Menurut Yusril, pidana mati tidak dapat langsung dieksekusi setelah putusan pengadilan. Proses eksekusi hanya dapat dilakukan setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden.

“Memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga, atau penasihat hukumnya sesuai ketentuan KUHAP,” jelasnya.

Selain itu, Pasal 99 dan 100 KUHP memberikan ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.

“Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup,” tambah Yusril.

Prinsip Kehati-hatian

Yusril menekankan bahwa pendekatan kehati-hatian dalam penerapan pidana mati berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan yang mendalam.

“Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan,” ujar Yusril.

Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan, “Bagi seorang hakim, adalah lebih baik dia salah dalam mengambil keputusan dengan membebaskan seseorang, daripada dia salah memutuskan dengan menghukum seseorang.”

Yusril mengingatkan bahwa kesalahan dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati memiliki konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.

“Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak,” tegasnya.

Tafsir Hak Hidup

Terkait dengan perdebatan mengenai hak asasi manusia (HAM), Yusril menyatakan bahwa sikap terhadap pidana mati sangat bergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup. Ia menjelaskan bahwa di masa lalu, beberapa agama mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut. Namun, dalam perkembangan teologis masa kini, terdapat tafsir baru yang menolak pidana mati.

KUHP Nasional, menurut Yusril, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan.

“Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Karena itu, kita tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian,” pungkasnya.

Pendapat Presiden Prabowo

Dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi media nasional, Presiden Prabowo Subianto turut menanggapi isu pidana mati, khususnya untuk tindak pidana korupsi. Prabowo menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Menurut Prabowo, hukuman mati bersifat final dan tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum.

“Meskipun keyakinan atas kesalahan seseorang mencapai 99,9 persen, masih ada kemungkinan individu tersebut menjadi korban atau dijebak. Oleh karena itu, hukuman mati yang bersifat final tidak memungkinkan perbaikan atas kesalahan tersebut,” ujar Prabowo.

Lebih lanjut, Prabowo menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara oleh koruptor. Ia mendukung penyitaan aset hasil korupsi sebagai langkah pemberantasan yang wajar, namun tetap mengingatkan pentingnya aspek keadilan.

“Aspek keadilan harus diperhatikan, sehingga anak dan keluarga koruptor tidak ikut menderita akibat penyitaan harta tersebut. Dosa orang tua tidak seharusnya menjadi beban bagi anak-anak mereka,” tegas Prabowo.

Jalan Tengah KUHP Nasional

Dengan berbagai pandangan ini, KUHP Nasional mencoba mengambil jalan tengah yang mengakomodasi berbagai sudut pandang mengenai pidana mati. Di satu sisi, pidana mati tetap diakui sebagai hukuman untuk kejahatan berat tertentu. Namun, pelaksanaannya dibatasi dengan prinsip kehati-hatian, memberikan ruang untuk perbaikan, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Penerapan pidana mati yang diatur dalam KUHP Nasional menunjukkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara penghormatan terhadap hak hidup, prinsip keadilan, dan perlindungan masyarakat dari kejahatan berat. (Sumber: Babel Pos, Editor: KBO-Babel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *