Keselamatan Pelayaran Terancam : Ponton Ilegal Kepung Jalur Kapal

Bangka Barat Daerah Hukum Tambang Ilegal
Advertisements
Advertisements

Bangka Barat|Babelwow.com — Jalur pelayaran Tanjung Kelian kembali berada dalam kondisi genting setelah ponton-ponton tambang timah ilegal terdeteksi semakin mendekati alur kapal feri reguler hingga berjarak hanya ratusan meter dari rute utama, Selasa (02/12/2025). Aktivitas liar ini diduga kuat melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 5/2010 tentang Kenavigasian, serta Permenhub 51/2021 dan Permenhub 91/2021 yang mengatur kawasan alur dan zonasi pelabuhan penyeberangan.

Meski seluruh regulasi menyatakan alur pelayaran harus steril dari objek apung tanpa izin, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya ponton-ponton itu justru tampak lebih percaya diri daripada negara yang mengatur laut.

Sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) yang ditemui menyebut kondisi ini bukan lagi sekadar risiko teknis, melainkan ancaman keselamatan massal yang terus dibiarkan terjadi.

R (ABK feri Muntok–Palembang) mengaku ponton sering berada hanya 200–300 meter dari jalur kapal.

“Kalau gelombang tinggi, jarak itu sama saja nol. Kami takut kapal hantam ponton. Ini bukan soal timah, ini soal nyawa.”

Menurut R, sejumlah ponton tidak memasang lampu navigasi.

“Benda gelap di laut itu sama kayak jebakan maut. Kalau dorong gelombang, habis kita.”

ABK lain, S, menyampaikan kritik dengan satire keras:

“Zona pelayaran itu kayak jalan raya. Tapi di sini, bayangin ada yang buka warung di tengah aspal. Terus bilang dia nggak salah apa-apa. Lucu? Enggak. Ini bahaya.”

Mereka ingin melapor, tapi mengaku takut terhadap tekanan dan potensi dibungkam.

Di daratan, masyarakat mempertanyakan hilangnya ketegasan negara terhadap aktivitas tambang ilegal di kawasan pelayaran.

Nurhayati, warga Tanjung:

“Aturan semua ada. Yang tidak ada itu tindakan. Apa harus ada kapal karam dulu baru bergerak?”

Pardi, nelayan:

“Dulu laut sini tenang. Sekarang lampu ponton dekat jalur kapal bikin merinding. Jangan nunggu korban dulu baru cari siapa salah.”

Pertanyaan warga sebenarnya sederhana, yaitu 

Apakah hukum masih bekerja, atau sudah ikut tenggelam bersama suara masyarakat?

Penertiban terhadap tambang laut ilegal sudah berulang kali dilakukan:

7 ponton ilegal ditangkap Satpolairud Bangka Barat (ANTARA, 2025)

13 ponton ilegal kembali ditertibkan (Babelpos, 5 Juli 2025)

Penyekatan ponton di Pantai Tembelok (ANTARA, 2023)

Larangan penambangan di Tembelok oleh Polres Bangka Barat

Namun menurut laporan Mongabay 2023–2024, pola yang sama terus berulang ditertibkan pagi, kembali beroperasi malam hari.

Berdasarkan regulasi:

1. UU 17/2008 – Pasal 117

Mengganggu keselamatan pelayaran = pelanggaran serius + ancaman pidana

2. PP 5/2010 – Pasal 52–54

Benda apung tanpa izin di alur pelayaran = dilarang keras

3. Permenhub 51/2021

Alur pelayaran harus bebas hambatan fisik

4. RZWP3K Babel

Tanjung Kelian = zona transportasi, bukan zona tambang

Kesimpulan yuridis bahwa 

Ponton ilegal di alur pelayaran bukan sekadar mengganggu tetapi itu tindak pidana kelautan.

Namun di lapangan, ia diperlakukan hanya sebagai “gangguan kecil” seolah hukum adalah saran, bukan perintah.

Jika laut dianalogikan sebagai jalan raya, maka ponton ilegal ini adalah:

“truk tanpa plat yang parkir di tengah jalan sambil berkata ia tidak melanggar apa pun.”

Masalahnya, di darat polisi akan bertindak.

Di laut, entah siapa yang seharusnya bertindak atau siapa yang memilih untuk tidak bertindak.

Laut Tanjung Kelian hari ini memperlihatkan ironi terbesar dalam tata kelola ruang laut.

aturan tebal, tindakan tipis.

ABK bekerja menjaga keselamatan penumpang.

Ponton bekerja mengejar mineral.

Di antara dua kepentingan itu, hukum seharusnya berdiri tegak 

namun justru menjadi bayang-bayang samar di permukaan air.

Selama ponton ilegal masih dibiarkan mendekati jalur pelayaran, maka:

risiko kecelakaan kapal meningkat,

keselamatan publik terancam,

dan kepercayaan masyarakat terhadap negara merosot tajam.

Pada akhirnya, masyarakat pesisir hanya ingin jawaban sederhana. 

Apakah negara masih bisa menjaga lautnya?

Atau hukum sudah kalah oleh mesin ponton yang lebih keras suaranya?.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *