Pangkalpinanng|Babelwow.com – Kasus dugaan maladministrasi medis yang menjerat dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes, terus menuai sorotan. Firma Hukum Hangga, yang mewakili dr. Ratna, resmi mengajukan permohonan pemeriksaan ulang perkara sekaligus otopsi terhadap jenazah pasien alm. Aldo Ramadani (10). Kamis (14/8/2025).
Permintaan ini disampaikan kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung (Babel) demi, menurut mereka, menegakkan *supremasi hukum* secara objektif dan transparan.
Langkah hukum ini diambil setelah dr. Ratna ditetapkan sebagai tersangka dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/217/XII/2024/SPKT/POLDA BABEL tanggal 12 Desember 2024, jo. Surat Ketetapan Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/35/VI/RES.5/2025.
Surat kuasa khusus diberikan kepada tiga advokat—Hangga Oktafandany, S.H., Andi Surya Teja, S.H., M.H., dan Purnomo, S.H.,berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 01-LP/25 tanggal 16 Juli 2025.
*Kronologi Perawatan Pasien Aldo*
Kuasa hukum menjelaskan, rangkaian perawatan pasien dimulai pada 26 November 2024 ketika Aldo mengalami demam.
**27 November:** dibawa berobat ke dr. Fuji.
**29 November:** diperiksa oleh dr. Novi.
**30 November:** kembali ke dr. Fuji. Saat itu dilakukan pemeriksaan darah, namun hasilnya tidak dijelaskan kepada keluarga. Aldo dianjurkan segera ke rumah sakit.
Pada 30 November pukul 14.00 WIB, Aldo tiba di IGD RSUD Depati Hamzah dan diperiksa oleh dr. Muhammad Basri. Saat itu, mulut dan kaki pasien membiru serta bengkak.
**14.20 WIB:** dr. Ratna memberikan instruksi medis.
**17.59 WIB:** dr. Ratna menyarankan konsultasi sekaligus perawatan bersama dokter spesialis jantung, dr. Kuncoro Bayu, Sp.JP.
**19.12 WIB:** dr. Kuncoro mendiagnosis *Total AV Block* dan meminta laporan kondisi pasien setiap 30 menit.
Serangkaian komunikasi dan tindakan medis berlanjut hingga dini hari **1 Desember 2024**, melibatkan dr. Aditya dan dr. Indria.
**11.40 WIB:** dr. Indria bersama perawat melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) atas persetujuan ayah pasien.
***11.57 WIB:** dr. Aditya menyatakan Aldo meninggal dunia.
**Semua Terlibat, Hanya Satu Tersangka**
Fakta yang dipaparkan kuasa hukum memperlihatkan bahwa **tujuh tenaga kesehatan** terlibat dalam penanganan pasien:
1. dr. Ratna Setia Asih, Sp.A.
2. dr. Kuncoro Bayu Aji, Sp.JP, M.Kes., FIHA.
3. dr. Muhammad Basri.
4. dr. Aditya Fresno Dwi Wardhana.
5. dr. Indria Savitri.
6. dr. Fuji.
7. dr. Novi.
“Semua dokter ini secara bergantian memberikan instruksi dan tindakan medis untuk menyelamatkan pasien. Namun yang ditetapkan sebagai tersangka hanya satu orang, yaitu dr. Ratna,” tegas Hangga Oktafandany saat ditemui di salah satu kafe kawasan Sarinah, Jakarta, usai menyampaikan laporan pengaduan ke Kemenkes RI.
Menurutnya, ketimpangan ini menimbulkan tanda tanya besar soal objektivitas penyidikan. Ia menilai, dalam konteks medis, seluruh tenaga kesehatan yangmenangani pasien dalam satu rangkaian pelayanan memiliki kedudukan hukum yang sama, sehingga logis jika pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh, bukan parsial.
*Dugaan Pasal yang Dilanggar*
Dr. Ratna dijerat Pasal 440 ayat (1) dan (2) **UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan**, yang mengatur sanksi pidana bagi tenaga medis atau kesehatan yang lalai hingga mengakibatkan luka berat atau kematian pasien.
Ayat (1), “Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp250 juta.”
Ayat (2), “Jika kealpaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Kuasa hukum menilai, pembuktian unsur kealpaan yang mengakibatkan kematian harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat, bukan hanya satu dokter.
**Tuntutan Otopsi dan Pemeriksaan Ulang**
Selain meminta pemeriksaan terhadap semua dokter yang terlibat, tim kuasa hukum juga mengajukan permintaan otopsi terhadap jenazah Aldo.
“Kami mohon dilakukan otopsi untuk mencari jejak luka atau bukti medis lain, demi memenuhi unsur materiil dalam penetapan tersangka, baik terhadap dr. Ratna maupun tujuh dokter lain yang terlibat,” ujar Hangga.
Permintaan ini merujuk pada **Pasal 133 ayat (1) KUHAP**, yang memberi wewenang kepada penyidik untuk meminta pemeriksaan medis terhadap jenazah jika ada dugaan tindak pidana yang menyebabkan kematian.
**Sorotan Publik dan Isu Kriminalisasi Tenaga Kesehatan**
Kasus ini mendapat perhatian luas dari publik, khususnya kalangan medis. Sebab, tuduhan maladministrasi yang berujung pada penetapan tersangka terhadap satu dokter saja dinilai berpotensi menimbulkan preseden buruk.
Bagi tenaga kesehatan, bekerja di IGD sering kali berarti berhadapan dengan situasi darurat yang memerlukan keputusan cepat, sering kali berdasarkan informasi yang terbatas.
“Jika setiap tindakan medis di ruang gawat darurat berpotensi menyeret satu pihak saja menjadi tersangka, sementara yang lain luput dari pemeriksaan, ini akan menciptakan rasa takut bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya,” kata Hangga.
**Menunggu Respons Polda Babel**
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Kepulauan Bangka Belitung belum memberikan pernyataan resmi terkait permintaan pemeriksaan ulang dan otopsi yang diajukan tim kuasa hukum dr. Ratna.
Publik kini menunggu apakah penyidik akan membuka kembali ruang pemeriksaan terhadap seluruh tenaga medis yang terlibat, atau tetap melanjutkan proses hukum dengan hanya satu tersangka.
Bagi keluarga Aldo, langkah ini diharapkan memberi kepastian dan transparansi tentang penyebab kematian sang anak.
Sementara bagi dr. Ratna dan rekan-rekan sejawatnya, ini adalah ujian terhadap sejauh mana hukum mampu melindungi tenaga kesehatan yang bekerja dalam kondisi penuh tekanan.
Kasus ini bukan sekadar perkara dugaan kelalaian medis. Ia juga menyentuh isu besar: **keadilan dalam penegakan hukum, perlindungan profesi medis, dan hak keluarga pasien untuk memperoleh kebenaran.**
Jika permintaan otopsi dikabulkan, hasilnya bisa menjadi kunci untuk mengurai simpang siur kasus ini—apakah memang ada unsur kelalaian yang menyebabkan kematian, ataukah ini semata akibat kondisi medis yang tak dapat tertolong meski telah diupayakan maksimal oleh tim medis.
Satu hal pasti, transparansi dan pemeriksaan menyeluruh adalah langkah awal untuk memastikan tidak ada pihak yang menjadi korban kriminalisasi, sekaligus menjamin keadilan bagi pasien dan keluarganya. (KBO Babel)