Jerih Payah Pahlawan Sunyi di Bawah Bayang Negara

Bangka Belitung Daerah Opini
Advertisements
Advertisements

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik

HARI ini, Senin, 16 Juni 2025, kalender global menandai Hari Remitansi Keluarga Internasional. Bagi Indonesia, ini bukan sekadar penanda tanggal di dinding. Ini adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah jutaan Pekerja Migran Indonesia (PMI), para “pahlawan devisa” yang sesungguhnya. Keringat dan pengorbanan mereka, tak ternilai. Membendung krisis, menggerakkan ekonomi. Namun, pertanyaannya: sudahkah negara cukup menghargai pengorbanan itu, atau hanya sekadar mengklaim angka dan julukan?

Remitansi. Kiriman uang dari seberang lautan. Bukan cuma sekumpulan digit dalam laporan Bank Indonesia yang tebal. Ini adalah nadi yang memompa harapan. Dari sanalah, biaya makan di dapur ibu, buku-buku sekolah anak, hingga modal usaha mikro di kampung halaman bertumbuh. Perjalanan uang ini, secara mikro, adalah penggerak ekonomi lokal yang nyaris tak terbedakan. Ia menciptakan daya beli. Memutar roda. Dari warung kopi pinggir jalan hingga toko kelontong di pelosok desa. Ekonomi berputar, dihidupkan oleh tetesan keringat di negeri orang.

Angka bicara. Tahun 2024, remitansi PMI diproyeksi mencapai Rp 251,5 triliun. Bukan recehan. Ini tumpukan miliaran dolar yang menjaga rupiah tak terjerembab terlalu dalam. Menjadi penyangga cadangan devisa. Perisai yang lumayan kokoh di tengah badai ekonomi global yang kerap tak terduga. Bayangkan tanpa angka itu, seberapa sempoyongan ekonomi kita? Seberapa dalam nilai tukar rupiah terperosok? Pemerintah boleh berbangga dengan stabilitas ekonomi makro, namun jangan lupa, di baliknya ada jutaan kisah pilu dan jerih payah yang tak pernah surut. Keringat yang bercucuran di ladang-ladang sawit Malaysia, pabrik-pabrik Taiwan, atau rumah-rumah di Timur Tengah.

Investasi Keluarga, Peningkatan Kualitas Manusia: Membangun dari Bawah

Dana itu, anehnya, tak melulu habis untuk konsumsi hedonis. Jangan keliru. Banyak di antara keluarga PMI yang cerdas, yang tahu betul nilai uang hasil kerja keras sanak di rantau. Mereka pakai duit itu untuk modal usaha. Beli sawah yang terbengkalai. Buka bengkel. Atau warung kecil. Investasi produktif, demikian namanya. Ini bukan sekadar teori ekonomi di buku-buku tebal. Ini praktik nyata. Menciptakan lapangan kerja di kampung. Mengurangi angka pengangguran. Efek dominonya sampai ke mana-mana, dari tukang bangunan yang kebanjiran order merenovasi rumah, hingga pedagang bahan bangunan yang laris manis.

Pendidikan. Kesehatan. Dua pilar itu juga terangkat oleh remitansi. Anak-anak PMI punya kesempatan sekolah lebih baik. Tak sedikit yang sampai ke bangku kuliah, bermodal kiriman orang tua dari negeri orang. Mengirim anak ke sekolah terbaik, membeli seragam baru, atau sekadar buku pelajaran yang layak. Semua itu ditopang oleh keringat yang jauh. Kesehatan keluarga lebih terjamin. Akses ke dokter, obat-obatan yang memadai. Ini investasi jangka panjang. Membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Berdaya saing. Kelak. Generasi baru yang tak lagi harus merantau sejauh orang tuanya, karena sudah dibangunkan fondasi kemandirian.

Ketika “Pahlawan Devisa” Berhadapan dengan Realitas Pahit

Namun, julukan “pahlawan devisa” itu kerap berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Ironi yang menyakitkan. Jalur migrasi yang masih penuh lubang. Risiko eksploitasi di negara penempatan, mulai dari gaji tak dibayar, paspor ditahan, hingga kekerasan fisik dan verbal. Masalah hukum yang membelit. Serta biaya kirim uang yang tak jarang menggerogoti. Puluhan bahkan ratusan ribu rupiah bisa lenyap dalam sekali transaksi, masuk ke kantong para penyedia jasa. Seolah negara membiarkan para “pahlawan” ini diperas di jalan pulang.

Maka, Hari Remitansi ini mestinya jadi cambuk. Bukan hanya pesta angka-angka makro. Pemerintah dan lembaga keuangan punya pekerjaan rumah menumpuk: memastikan migrasi aman dan bermartabat. Melindungi PMI dari cengkeraman calo ilegal. Memberantas sindikat perdagangan manusia yang menyasar mereka. Memangkas biaya transfer uang yang mencekik. Memudahkan akses perbankan, agar remitansi bisa langsung ke tangan keluarga tanpa banyak perantara. Jangan biarkan mereka jadi sapi perah agen ilegal atau korban rentenir di kampung halaman.

Edukasi keuangan juga tak kalah penting. Keluarga di kampung butuh dibimbing. Agar duit dari anak-cucu di luar negeri itu tidak sekadar ludes untuk konsumsi sesaat atau hura-hura yang tak berkesudahan. Tapi betul-betul jadi modal perubahan yang berkelanjutan. Program-program kewirausahaan yang menyasar mereka bisa jadi kunci. Agar jerih payah di negeri orang, berbuah kemandirian di tanah sendiri. Agar mereka tak lagi hanya menjadi pengirim, tapi juga pencipta lapangan kerja.

Para PMI. Mereka adalah duta bangsa di panggung global, sekaligus tulang punggung ekonomi di dalam negeri. Pada Hari Remitansi Keluarga Internasional ini, apresiasi saja tak cukup. Kita butuh aksi nyata. Memastikan keringat dan pengorbanan mereka, betul-betul membangun jembatan kemakmuran yang kokoh. Bukan sekadar cerita heroik yang dilupakan besok pagi, setelah angka devisa sukses terkumpul. Sudah saatnya negara tak hanya menerima, tapi juga berinvestasi penuh pada para “pahlawan sunyi” ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *