BabelWow.com, Jakarta – Mantan marketing PT Tinindo Internusa, Fandy Lingga, didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 300 triliun. Jaksa penuntut umum menyatakan bahwa Fandy melakukan korupsi ini bersama-sama dengan pihak lain. Rabu (26/3/2025)
“Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, pada Selasa (25/3/2025).
Jaksa menjelaskan bahwa Fandy Lingga tidak bertindak sendiri. Ia disebut bekerja sama dengan sejumlah pemilik smelter swasta yang memiliki hubungan dengan PT Timah.
Beberapa pihak yang disebut terkait dalam kasus ini adalah pengusaha Harvey Moeis dari PT Refined Bangka Tin (RBT) dan Helena Lim sebagai beneficial owner dari money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
Selain itu, jaksa juga menyebut keterlibatan jajaran PT Timah serta pembiaran oleh pejabat terkait di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung.
Pertemuan Bahas Persentase Bijih Timah
Jaksa mengungkapkan bahwa Fandy Lingga, yang mewakili PT Tinindo Internusa, terlibat dalam pertemuan dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah dan Alwin Albar, Direktur Operasi PT Timah. Pertemuan tersebut membahas permintaan Mochtar dan Alwin terkait bijih timah sebesar 5 persen.
“Terdakwa Fandy Lingga mewakili PT Tinindo Internusa bersama smelter swasta lainnya membahas pelaksanaan perjanjian kerja sama sewa peralatan processing pelogaman. Namun, smelter swasta tersebut tidak memiliki competent person (CP),” ujar jaksa.
Jaksa juga menyebutkan bahwa Fandy bersama Rosalina menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang, yaitu CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati. Perusahaan ini didirikan sebagai mitra jasa borongan yang diberikan Surat Perintah Kerja (SPK) pengangkutan oleh PT Timah.
“Terdakwa Fandy Lingga dan Rosalina mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang yaitu CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati,” kata jaksa.
Perusahaan boneka ini, menurut jaksa, digunakan untuk membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Bijih timah tersebut kemudian dijual kembali kepada PT Timah Tbk sebagai tindak lanjut pelaksanaan kerja sama sewa peralatan processing pelogaman antara PT Timah dan PT Tinindo Internusa.
Selain itu, Fandy Lingga juga disebut mewakili PT Tinindo dalam menerima pembayaran dari PT Timah atas pengumpulan bijih timah yang berasal dari penambang ilegal. Harga kesepakatan dalam kerja sama ini disebut mengalami kemahalan harga, yang turut merugikan keuangan negara.
Kerja Sama dengan Smelter Swasta
Jaksa lebih lanjut menyebut bahwa Fandy menyetujui tindakan Harvey Moeis bersama smelter swasta seperti CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa. Smelter-swaster ini melakukan negosiasi dengan PT Timah terkait sewa menyewa fasilitas smelter tanpa didahului studi kelayakan.
“Terdakwa Fandy Lingga dan Rosalina mewakili PT Tinindo Internusa menyetujui permintaan Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey Moeis sebesar USD500 hingga USD750 per ton yang seolah-olah dicatat sebagai Coorporate Social Responsibility (CSR),” ungkap jaksa.
Harga kesepakatan untuk sewa peralatan processing pelogaman timah disebut mencapai USD4.000 per ton untuk PT RBT dan USD3.700 per ton untuk empat smelter lainnya. Jaksa menyatakan bahwa tindakan ini dirancang untuk melegalkan pembelian bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Selain itu, jaksa mengungkapkan bahwa Fandy juga menyetujui pembayaran “biaya pengamanan” yang dicatat seolah-olah sebagai CSR kepada PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Fandy disebut menyerahkan pembayaran sebesar USD25.000 per bulan kepada PT QSE sejak pelaksanaan kerja sama sewa processing pelogaman dimulai.
“Mengetahui dan menyetujui Harvey Moeis dengan bantuan Helena selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange menerima ‘biaya pengamanan’ yang selanjutnya diserahkan kepada Harvey Moeis,” ujar jaksa.
Dugaan Perbuatan Memperkaya Orang Lain
Jaksa menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Fandy Lingga ini telah memperkaya sejumlah individu dan korporasi. Dalam surat dakwaan, jaksa menyatakan bahwa Fandy Lingga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jaksa mengungkapkan bahwa tindakan Fandy tidak hanya merugikan negara dalam jumlah fantastis, tetapi juga menunjukkan adanya sistem korupsi yang terstruktur di berbagai level.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena besarnya nilai kerugian negara yang ditimbulkan, yaitu mencapai lebih dari Rp 300 triliun. Hal ini sekaligus menjadi peringatan akan perlunya pengawasan ketat dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor pertambangan.
(Sumber: Detikcom, Editor: KBO-Babel)