Ketika Budaya dan Lingkungan Bertemu: Perlawanan dari Jantung Suku Mapur

Bangka Daerah Uncategorized
Advertisements
Advertisements

Bangka, Babelwow.com -– DI tengah derasnya arus pembangunan berbasis tambang yang kian menekan ruang hidup masyarakat adat, sebuah langkah berani dan bermakna lahir dari Desa Air Abik. Rumah Adat Gebong Memarong, saksi bisu sejarah dan budaya Suku Mapur, menjadi tempat bertemunya dua kekuatan besar: aktivis budaya dan aktivis lingkungan. Mereka menyatukan tekad untuk menyelamatkan budaya dan lingkungan—dua pusaka yang kian terpinggirkan, kamis (05/06/2025).

Dalam agenda silaturahmi penuh makna, aktivis lingkungan Eko Sanjaya dari Desa Mengkubung, Belinyu, berkunjung ke aktivis budaya Asi Harmoko, tokoh pelestari adat dan budaya Suku Mapur. Pertemuan ini bukan hanya sebatas temu muka, melainkan ruang diskusi strategis tentang penyelamatan lingkungan, hutan adat, budaya, hingga ekonomi nelayan yang tengah terancam oleh aktivitas tambang dan alih fungsi hutan secara ilegal.

Diskusi dimulai dengan pernyataan tegas dari Asi Harmoko. Ia mengisahkan perjuangan panjang komunitas adat Mapur dalam melindungi hutan leluhur mereka. Meski telah mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah, termasuk pengakuan terhadap agama leluhur mereka di tingkat kementerian, satu hal krusial masih diperjuangkan: legalitas Hutan Masyarakat Adat (HMA).
“Kami sebagai adat Suku Mapur sudah memiliki legalitas kelembagaan dan kepercayaan, namun hutan adat kami masih terus digerus. Bahkan saat kami lapor, belum ada tindakan berarti dari aparat penegak hukum,” ungkap Asi Harmoko dengan nada getir namun tegas.

Ia menambahkan, hutan-hutan yang dirambah kini telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal. Lebih parah lagi, tambang-tambang ilegal justru membawa kerusakan lebih besar, mencemari tanah dan air, serta memutus rantai kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung pada alam.

Namun Suku Mapur tak tinggal diam. Bersama para akademisi, mereka kini menyusun kajian ilmiah untuk mendorong pembentukan kawasan HMA, mencontoh model pengelolaan hutan adat dari komunitas seperti Suku Baduy.
“Kami memilih jalan yang visioner. Kerja sama dengan kampus dan peneliti adalah bukti bahwa adat dan ilmu bisa berjalan bersama demi masa depan,” tambahnya.

 

Semangat yang sama diutarakan Eko Sanjaya. Ia menggambarkan kondisi nelayan tradisional yang kini gelisah akibat rusaknya lingkungan pesisir, terutama mangrove dan ekosistem laut yang terganggu oleh tambang ilegal.
“Kami di laut merasakan langsung dampaknya. Air keruh, ikan makin jauh, dan abrasi makin parah. Bila mangrove rusak, nelayan pun ikut tenggelam,” tegas Eko.

Tidak berhenti di sana, Eko juga membagikan strategi melawan kezaliman lingkungan. Ia mengungkapkan pentingnya keberanian melapor hingga ke tingkat tertinggi, bahkan ke Kementerian, DPR RI, Kejaksaan Agung, hingga POLRI, bila aparat di lapangan tak kunjung bertindak.
“Kami tak akan menyerah. Kalau bawah tak respon, kita naikkan terus ke atas. Ini bukan semata lingkungan, ini tentang hidup kami,” ujarnya penuh semangat.

Silaturahmi diakhiri dengan penyerahan simbolis empat buku terbitan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sebagai bekal literasi perjuangan lingkungan dan kebudayaan. Judul-judul buku yang diberikan menggambarkan semangat perjuangan:
Mangrove: Biologi, Ekologi, Rehabilitasi dan Konservasi
Neo-ekstraktivisme dan Perlawanan Masyarakat Pesisir
Panduan Penanggulangan Risiko Bencana
Tutur Perempuan Nelayan untuk Menjaga Laut Indonesia

Asi Harmoko kemudian mengajak Eko Sanjaya mengunjungi galeri UMKM Suku Mapur yang menampilkan hasil kerajinan berbasis hutan non-kayu seperti rotan, resam, lidi nipah, dan daun mengkuang. Semua rumah tradisional di Gebong Memarong pun dibangun dari hasil hutan secara lestari.

Kemeriahan tak berhenti sampai di situ. Beberapa wisatawan asing yang tengah berkunjung ikut larut dalam kekayaan budaya lokal. Dipandu oleh Toto, seorang pemandu wisata lokal yang fasih berbahasa Inggris, mereka menyusuri tiap sudut rumah adat Gebong Memarong dan menyimak kisah hidup masyarakat adat Mapur dengan penuh kekaguman.
“This is really amazing!” seru salah satu wisatawan sambil mengacungkan jempol di akhir sesi foto bersama.

Toto menjelaskan secara rinci, mulai dari arsitektur rumah adat, filosofi hidup masyarakat Mapur, hingga pentingnya hutan bagi keberlangsungan budaya mereka. Dua jam lebih waktu berlalu tanpa terasa, penuh dengan tawa, pertanyaan, dan kekaguman.

Pertemuan ini menegaskan bahwa perjuangan menyelamatkan budaya dan lingkungan bukan hanya milik satu golongan, tapi menjadi tanggung jawab bersama. Dari Rumah Adat Gebong Memarong, suara dari hutan dan laut bersatu: menyuarakan harapan, perlawanan, dan tekad untuk masa depan yang berkeadilan.
“Hidupkan kebudayaan bukan dengan slogan, tapi dengan menjaga hutan,” tutup Asi Harmoko.
“Selamatkan lingkungan, maka nelayan akan selamat,” pungkas Eko Sanjaya. (Belva Al Akha/KBO Babel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *