Timah dalam Pusaran Politik, Hukum, dan Ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung

Bangka Belitung Daerah Ekonomi Pangkalpinang Pertambangan Timah
Advertisements
Advertisements

Oleh: Ismail Tiger Law – Pemerhati Budaya Melayu

DALAM historiografi tradisional Bangka, dikenal dua istilah yang sarat makna: “perkara gelap” dan “keuntungan diam”. Keduanya merujuk pada aktivitas perdagangan timah ilegal yang telah berlangsung selama berabad-abad. Perkara gelap atau yang kerap disebut mencuri berjual, menggambarkan praktik penyelundupan timah yang telah menjadi sumber keuntungan bagi banyak pihak, baik kawan maupun lawan. Sedangkan keuntungan diam adalah istilah yang menggambarkan laba tersembunyi yang dinikmati oleh sebagian masyarakat, khususnya orang Melayu Bangka, dari praktik tersebut.

Fenomena ini menunjukkan adanya dualisme antara ekonomi resmi yang dilegalkan negara dan aktivitas ekonomi bawah tanah yang justru mengakar dalam realitas sosial-ekonomi masyarakat. Sejak era Kesultanan Palembang hingga zaman modern, perdagangan timah yang sah justru seringkali berjalan dengan model monopoli yang menyimpang dari prinsip ekonomi pasar bebas. Sementara itu, ekonomi ilegal dalam sektor pertimahan justru tetap eksis dan bahkan tumbuh subur, terlindungi oleh kondisi geografis wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, teluk, dan rawa yang sulit dijangkau.

Dalam lintasan sejarah, timah Bangka tidak sekadar menjadi komoditas ekonomi, tetapi juga menjadi medan perebutan kekuasaan. Persaingan antara Kesultanan Palembang dan Kesultanan Lingga misalnya, menunjukkan bagaimana politik dan kekuasaan bersimbiosis dengan jaringan perdagangan gelap. Bahkan, dalam beberapa catatan kolonial, disebutkan bahwa Sultan Lingga bekerja sama dengan pemimpin bajak laut untuk menjadikan wilayahnya sebagai pasar bagi timah selundupan dari Bangka.

Kini, setelah 24 tahun menjadi provinsi, Kepulauan Bangka Belitung dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah kekayaan alam berupa timah benar-benar telah menyejahterakan rakyat? Dalam konteks negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Skandal korupsi tata niaga timah senilai Rp300 triliun membuka tabir betapa dalamnya persoalan tata kelola pertambangan di negeri ini.

Kasus tersebut bukan hanya mengungkap kerugian negara secara finansial, tetapi juga menyoroti kerusakan lingkungan yang masif dan terabaikannya hak-hak ekonomi masyarakat lokal. Pemerintah provinsi pun tampak tidak siap menghadapi guncangan tersebut. Perekonomian Bangka Belitung terjun bebas, memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi daerah yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam tanpa perencanaan jangka panjang.

Kondisi ini mengulang siklus sejarah panjang pertimahan di Bangka Belitung—sebuah narasi lama tentang bagaimana kekuasaan, ekonomi, politik, dan hukum saling berkelindan. Sejak masa Kadatuan Sriwijaya di abad ke-7 M, Kerajaan Majapahit di abad ke-14, Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang Darussalam di abad ke-17, hingga era republik hari ini, perut bumi Bangka Belitung terus dieksploitasi. Namun, kemakmuran yang dijanjikan tak kunjung merata dirasakan.

Kini, pilihan berada di tangan rakyat. Apakah ingin terus menjadi penonton dari eksploitasi yang tak berkesudahan, atau bangkit menuntut tata kelola sumber daya yang berkeadilan, yang benar-benar membawa kesejahteraan bagi generasi kini dan mendatang?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *